Tabiat Ahlul Kitab
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat
(keterangan),
mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti
kiblat mereka, dan sebagian dari mereka pun tidak mengikuti kiblat
sebagian
yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka
setelah
datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan
orang-orang yang dholim (QS 2:145).
Ayat ini menjelaskan tentang pengingkaran ahli kitab untuk mengikuti
kiblatnya kaum Muslimin. Kalau kita perhattikan pada ayat lain,
sebenarnya
Ahli Kitab inijelas-jelas mengenal Rasulillah Saw. Dalam QòòS Ash-Shaf
Allah
Swt. berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: "Hai bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang
turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi khabar gembira dengan
(datangnya)
seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad)".
Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti
yang
nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata" (QS 61:6)
Ayat 6 dari QS Ash-Shaaf di atas menggambarkan bahwa sebelum Rasulullah
Muhammad Saw. diutus menjadi seorang Rasul pun, sebenarnya Ahli Kitab
ini
mengetahui tentang akan diutusnya Muhammad sebagai Rasul. Namun
demikian,
ketika Rasulullah Muhammad Saw. di utus kepada seluruh manusia, mereka
mengingkarinya. Mereka tidak mau mengikutinya. Mengapa mereka tidak mau
mengikuti Rasulullah, padahal mereka tahu tentang kebenaran kerasulan
Muhammad Saw.?
Ahli Kitab mengetahui tentang kebenaran kerasulan Muhammad Saw., bahwa
beliau benar-benar utusan Allah. Tetapi mereka tidak mengakui
kiblatnya,
tidak mengakui kebenarannya, tidak mengikuti jalan hidupnya, seperti
yang
tercantum pada awal ayat ini Wala-in ataitalladziina uutul kitaaba
bikulli
aayatin maa tabiuu qiblatak (Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan
kepada
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan
Injil),
semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu).
Kenapa mereka melakukan hal ini? Jawabnya adalah karena mereka tidak
beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Tindakan yang dilakukan ahli kitab (Yahudi
dan
Nasrani) ini bukan karena mereka tidak tahu, bukan karena mereka tidak
punyai ilmu. Mereka tahu bahwa Rasulullah Saw. itu utusan Allah, jelas
dalam
kitab mereka diterangkan hal tersebut. Kenapa sampai tidak beriman,
kenapa
mereka berbuat kerusakan, kenapa tidak menerima hidayah ? Jawabannya
adalah
bahwa yang tidak dipunyai oleh Yahudi dan Nasrani (ahli kitab) adalah
bahwa
mereka tidak bisa lepas dari hawa nafsunya (adamu tajrid anil hawa),
tidak
bisa lepas dari kepentingan pribadinya. Totalitas hidupnya bukan di
jalan
Allah Swt. Jadi ketika seseorang totalitas hidupnya tidak diserahkan
kepada
Allah, walaupun dia tahu tentang suatu kebenaran, dia tidak mau
mengikutinya. Pemahaman yang baik tentang hal ini sangat penting bagi
kita
agar ketika kita menghadapi seseorang atau suatu masyarakat yang
seperti
orang-orang ahli kitab ini, kita tidak tertipu olehnya.
Mengukur seseorang dari pengetahuannya semata tidak cukup (al-ilmu
wahdahu
laa yakfi) ilmu saja tidak cukup. Buktinya adalah Yahudi dan Nasrani
lebih
tahu dan lebih mengenal tentang Muhammad daripada yang lainnya, tetapi
mereka tidak beriman kepada Rasulullah Saw. Kenapa? Karena totalitas
hidupnya bukan untuk Allah, sehingga ketika Allah menentukan Muhammad
sebagai Rasulnya, mereka tidak bisa menerimanya. Mereka tidak bisa
melepaskan dirinya dari hawa nafsunya, daripada kepentingannya. Ini
merupakan pelajaran bagi kita untuk senantiasa mengingatkan diri kita
dan
masyarakat kita agar tidak menjadikan tingginya ilmu yang dimiliki oleh
seseorang sebagai standar ketinggian.
Kalau seseorang atau sekelompok orang tahu banyak tentang suatu
kebenaran
tetapi mereka tidak mau mengikuti kebenaran tersebut, bahkan melakukan
penyimpangan-penyimpangan, sangat mungkin ilmu sudah mereka miliki.
Tetapi
mereka tidak bisa melepaskan dari pengaruh hawa nafsunya sehingga
totalitas
hidupnya tidak diserahkan kepada Allah Swt. Yang ada adalah
kepentingannya,
dan demi memenuhi kepentingannya tersebut mereka mau melakukan apa
saja.
Kalau sudah demikian, tidak ada artinya kebenaran yang diketahuinya,
karena
penyimpangan-penyimpangan tetap saja dilakukan.
Inilah hikmah ketika kita berbicara tentang Ahli Kitab. Fenomena ahli
kitab
ini adalah fenomena tentang lapisan masyarakat yang terpelajar, apa itu
guru, apa itu mahasiswa, apa itu tokoh masyarakat, yang melakukan
pelanggaran dan penyimpangan. Sekali lagi penyebabnya bukan karena
mereka
tidak mengetahui, tetapi karena lebih mementingkan untuk mempertahankan
kedudukannya dan kepentingannya itu.
Mungkin juga ini berkaitan dengan diri kita. Banyak umat Islam yang
sudah
tahu ini halal, ini haram, ini wajib, ini harus, tetapi kenapa kita
sampai
masih berbuat maksiyat. Kenapa masih banyak pelanggaran yang dilakukan
umat
Islam? Pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian umat Islam tersebut
menunjukkan bahwa pada dirinya ada ketidakberesan. Kita belum bisa
melepaskan seluruh pengaruh hawa nafsu kita. Bukankah orang yang minum
munuman keras, mereka tahu kalau minum minuman keras itu haram? Mereka
tahu.
Tetapi kenapa mereka masih mau minum dan mabuk-mabukan? Tidak lain
karena
hawa nafsunya telah mendominasi dirinya.
Orang yang korupsi atau kolusi, bukankah mereka itu terpelajar?
Bukankah
ketika mereka masih jadi pelajar atau mahasiswa ikut demonstrasi anti
korupsi atau kolusi? Tetapi ketika dia yang berkesempatan untuk
melakukan
korupsi dan kolusi, kenapa dia korupsi juga? Bukan berarti dia tidak
tahu
yang halal dan yang haram, akan tetapi hawa nafsu dan kepentingannya
yang
mendominasi dirinya.
Dalam realita sekarang kenapa dakwah kepada orang-orang yang sudah
pernah
belajar Islam kadang-kadang lebih sulit daripada yang sama sekali belum
pernah belajar Islam. Kenapa? Kisah tentang Ahli Kitab ini dapat kita
jadikan rujukan untuk menjawab dan menganalisa realita tersebut. Orang
yang
pernah belajar Islam, baik di Pesantren atau di Perguruan Tinggi,
mereka
merasa seolah-olah ilmu yang didapatkannya telah cukup baginya untuk
selamat
dari adzab Allah. Orang-orang seperti ini kadang-kadang merasa lebih
pintar
daripada yang mendakwahi. Orang-orang yang mempunyai pandangan semacam
ini
sulit untuk menerima kebenaran yang dikemukakan orang lain. Ketika
menghadapi orang yang demikian, kita disuruh berjidal atau berdebat
seperti
kata Allah dalam surat An-Nahl ayat 125:
"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan
Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS
An-Nahl 125).
Ahli tafsir mengatakan bahwa berdakwah dengan berjidal ini, seperti
kata
Allah billati hiya ahsan itu ditujukan kepada ahli kitab, dan
orang-orang
yang berilmu tetapi mereka tidak mau mengikuti dakwah ini. Kenapa tidak
dengan nasehat? Karena nasehat sangat tepat jika ditujukan bagi orang
yang
tidak tahu. Nasehat memang untuk semua manusia, tetapi nasehat akan
mudah
diterima bagi orang yang memang tidak tahu. Bagi orang yang sudah tahu
tentang sesuatu tetapi dia tidak mau mengamalkan kebenaran yang
diketahuinya, caranya harus dengan wajadilhum billati hiya ahsan
(berjidal
dengan cara yang ahsan).
Ketika Ahli Kitab tidak mau mengikuti Rasulullah Saw., apa sikap
beliau? Apa
beliau harus mengalah? Tidak. Allah mengatakan wamaa anta bitaabiin
qiblatahum (dan tidaklah kamu mengikuti kiblat mereka). Dalam ilmu
lughoh
jumlah yang berbunyi wamaa anta bitaabiin qiblatahum ini disebut
jumlatul
ismiyat yang artinya tetap eksis dan kontinyu. Ini mengandung arti
bahwa
jangan sekali-kali kita mengikuti kiblatnya Ahli Kitab. Moral kehidupan
kita
jangan sampai meniru Ahli Kitab. Pesan Allah ini yang belum kita
laksanakan.
Sistem ekonomi kita meniru mereka, sistem politiknya dan sistem
pendidikannya kita meniru mereka. Sisi yang lainnya dalam hidup kita
yang
lainnya juga banyak meniru mereka.
Dalam bidang pendidikan misalnya, jika kita bicara Islam dari jaman
Rasul
sampai jaman generasi yang menjadikan Islam sebagai petunjuk hidupnya,
tidak
ada sekolah yang ikhtilat, yang mencampurkan antara laki-laki dan
perempuan.
Terhadap realita yang berbeda dengan sistem dalam Islam itu, mungkin
kita
beralasan bahwa keadaan sekarang bisa disebut darurat. Kita berpikiran
jika
antara laki-laki dan perempuan dipisah nanti gurunya banyak,
menggajinya
bagaimana? Dalam hal ini kita menggunakan alasan darurat untuk sikap
kita
yang demikian. Tetapi ketika disebut darurat, sesuatu yang darurat itu
ada
batasnya, dan tidak berlangsung terus menerus. Tidak bisa sampai mati
kita
masih menggunakan alasan darurat. Dalam aturan Islam, ketika kita
diperbolehkan makan bangkai karena kita lapar, setelah kita makan dan
sudah
cukup menghilangkan lapar, kita tidak diperbolehkan meneruskan makan
dengan
alasan darurat.
Umat Islam yang tidak memahami ayat semacam ini sangat mudah terjebak
mengikuti cara hidup Ahli Kitab. Dalam pendidikannya, ekonominya,
sosialnya,
dan sebagainya. Padahal jelas-jelas Allah mengatakan wamaa anta
bitaabiin
qiblatahum (janganlah kalian mengikuti kiblat mereka). Allah menegaskan
ini
tidak kebetulan. Bukan berarti kalau nanti suatu saat kita mengatakan
bahwa
kondisinya lain, kita boleh mengikuti mereka. Tidak ada begitu.
Sebaliknya Allah mengatakan wamaa badhuhum bitaabiin qiblata badh
(sebagian mereka tidak mau mengikuti sebagian yang lain). Ini penegasan
Allah berikutnya. Jangankan kita, sebagian mereka saja tidak mau
mengikuti
sebagian yang lain. Yahudi dan Nasrani pada dasarnya selalu ribut,
hanya
kita tidak mengetahui. Sebenarnya kepentingan-kepentingan Yahudi dan
Nasrani
sering bertabrakan. Dalam melakukan lobi-lobi di Amerika misalnya,
mereka
selalu cakar-cakaran. Demikian pula dalam banyak hal lainnya. Hanya
ketika
menghadapi Islam mereka bersatu. Walaupun ketika mereka sedang
memperebutkan
kepentingan mereka masing-masing, ketika itulah mereka tidak akan
mengikuti
yang lain.
Selanjutnya Allah Swt. mengatakan wala inittabata ahwaa-ahum min badi
maa
jaa-aka minal ilmi innaka idzal laminazhzhoolimiin (Dan sesungguhnya
jika
kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu yaitu
Al-Quran, Al-Islam, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan
orang-orang yang zholim). Lanjutan ayat ke 145 dari QS Al-Baqarah ini
mengatakan jika Rasulullah Saw. saja, kalau beliau mengikuti selera
Ahli
Kitab, hawa nafsu Ahli Kitab, sekalipun beliau seorang Rasul, sekali
saja
Muhammad mengikuti ahli kitab, beliau termasuk orang yang zalim.
Apalagi
kita yang tidak ada hubungan darah dengan Rasulullah Saw. Ini artinya
bahwa
dalam Islam tidak ada basa-basi. Siapapun yang menentang ajaran Allah,
dia
adalah zalim.
Ini pernyataan yang tegas dari Allah yang harus kita taati. Kita jangan
suka
berstrategi untuk menyiasati aturan Allah ini. Kita tidak usah takut
manusia
akan lari jika kita mentaati aturan Allah ini. Makanya , kita jangan
sampai
mengatakan Pak, mereka tidak mau ikut kalau kita begitu.... Pak, kalau
kita
tidak begini nanti tidak diterima masyarakat, dan perkataan-perkataan
yang
sejenis dengan itu. Kita harus ingat pesan Allah. Dakwah ini dilakukan
dengan mengikuti jalan Allah, bukan untuk mengikuti selera masyarakat.
Memang boleh kita mempertimbangkan sesuatu untuk kemashlahatan,
sepanjang
hal itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh
Allah
Swt. Tetapi jika yang terjadi adalah bahwa pertimbangan kita tersebut
bertentangan dengan prinsip yang digariskan Allah, maka ini sangat
dilarang.
Kita sekarang ini terlalu banyak membuat kebijakan-kebijakan tanpa
memperhatikan dasar-dasar aqidah yang digariskan Allah. Ini harus kita
rubah. Jadi kita berdakwah itu untuk menuju jalan Allah Swt.
Jadi standar dalam dakwah kita adalah Islam, bukan selera masyarakat.
Mungkin kita bertanya, bahwa jika kita selalu berpegang pada prinsip
yang
digariskan Allah malah sulit diterima masyarakat. Siapa bilang?
Rasulullah
Saw. juga ketika berdakwah, awalnya memang tidak diterima masyarakat.
Tetapi
beliau tetap berpegang pada prinsip yang digariskan Allah. Dan hasil
yang
dicapai Rasulullah, dengan izin Allah sedemikian menakjubkan. Ini
menegaskan
agar nilai yang kita anut harus tetap. Nilai yang kita pegang itu
adalah
ajaran Allah Swt., bukan selera masyarakat. Jika selera yang dianut
oleh
masyarakat tidak sesuai dengan ajaran Allah, akan menjerumuskan kita
kepada
kedholiman.
Ketika Allah menurunkan jumlatan ismiyat ini tidak kebetulan, tetapi
Allah
memilih dengan hikmah, supaya ummat Islam itu jangan sedikitpun
mengikuti
jalan yang dibentangkan oleh Yahudi. Ketika Umar bin Khathab Ra.
menjadi
kholifah, beliau berusaha untuk merapikan masalah kenegaraan seperti
administrasi negara (bukan berarti sebelumnya tidak rapi, tetapi
sebelumnya
belum sempurna sehingga perlu disempurnakan). Ketika Umar Ra. akan
mengadakan pembenahan, beliau membutuhkan orang-orang yang ahli dalam
tata
negara. Suatu saat gubernurnya menawarkan seorang kristen yang ahli
tata
negara untuk bekerja di idaroh (di kantor kenegaraan), karena orang ini
ahli
dalam administrasi.
Apa kata Umar bin Khathab? Apa beliau mengatakan, Wah Anda baik, Anda
betul-betul bisa mencari orang yang kita butuhkan, karena pada
tahun-tahun
ini kita butuh ahli semacam ini. Tetapi apa kata Umar? Beliau berkata,
Apakah kalau orang kristen itu mati, kita tidak lagi dapat bekerja?
Saya
tidak mau menerima semua ini. Begitu kata Umar. Padahal orang kristen
itu
benar-benar ahli dan negara sedang membutuhkan. Itupun Umar bin Khothob
menolaknya. Betapa Umar betul-betul mmemahami dan mengamalkan isi ayat
ini.
Secara umum kita katakan, bahwa tidak mungkin mereka, orang-orang
kristen
itu bekerja tanpa pamrih. Pasti dia mempunyai tujuan-tujuan tertentu.
Mana
ada orang kristen yang bekerja dia tidak mencari posisi untuk
mendakwahkan
agamanya? Karena thabiah marakah (karakter peperangan) antara haq dan
bathil itu tidak pernah selesai. Ketika al-haq sedang eksis, al-bathil
datang. Dia tidak akan merasa aman, merasa terganggu. Mereka pasti
yataharrak (bergerak), maka orang jahiliyah selalu bergerak. Oleh
karena itu
jika ada orang beriman yang tidak berdawah, berarti dia tidak
mengetahui
thobiatul haq (hakekat kebenaran). Cacing saja ketika kita pegang dia
bergerak, padahal mau kita selamatkan, kita pindah pada air yang
bersih.
Justru ketika kita masukkan cacing tersebut ke dalam air kolam yang
bersih
dia tidak betah, karena sudah biasa di tempat yang kotor. Kehidupan
cacing
ini contah bagi kita. Kita mengajak mereka (orang-orang yang kotor itu)
supaya dia bersih dari dosa, supaya dia baik. Tetapi ketika kita tarik
kepada sesuatu yang bersih, dia bergerak, dia menggeliat dan melawan.
Dia
akan tetap mempertahankan eksistensi kebathilannya. Inilah pelajaran
berharga dari Allah yang harus kita perhatikan. Wallahu alam
bishshawab.
"Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab
(Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal
anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui" (QS Al-Baqarah:146).
Dalam ayat ini kita masih diingatkan oleh Al-Qur'an untuk mengetahui
lebih jauh lagi tentang sifat-sifat ahli kitab, baik Yahudi maupun
Nasrani. Pada ayat ini sekali lagi Allah menggambarkan bahwa mereka
tidak beriman kepada Rasulullah Muhammad Saw., padahal mereka itu
benar-benar mengenal Rasulullah Saw. Kenalnya ahli kitab kepada
Rasulullah Saw. sedemikian jelas, sehingga Allah Swt. gambarkan
sebagaimana kenalnya mereka kepada anak mereka sendiri.
Pada awal ayat, Allah mengatakan, "Alladziina aatainahumul kitaaba
ya'rifuunahu" (Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah Kami beri
Al-Kitab Taurat dan Injil mengenalnya). Walaupun nama Muhammad tidak
disebutkan di sini, namun dari sifatnya dapat kita pahami bahwa yang
dimaksud dengan "ya'rifuunahu" disini adalah Rasulullah Saw.
Dari segi "balaghatil Qur'an" (bahasa Al-Qur'an), ada hal khusus yang
ditampakkan oleh Allah Swt. Allah Swt. memilih lafadz "ya'rifuunahu"
dan bukan "ya'lamuunahu", padahal artinya sama-sama mengenal.
Apa maksud Allah dengan penggunaan kalimat tersebut? Ternyata ada
perbedaan pengertian antara "al-`ilmu" dan "al-ma'rifah" dalam
pemakaiannya. "Al-ilmu digunakan untuk mengetahui sesuatu yang tidak
kelihatan (ma'nawi), sementara lafadz "al-ma'rifah" itu digunakan
untuk mengenali sesuatu yang kelihatan fisiknya (hisiy), yang berarti
pengenalan itu sangat jelas. Penggunaan kalimat seperti ini juga
digunakan Allah Swt. dalam QS Al-Muthaffifin ketika Allah
menggambarkan bagaimana keadaan penduduk surga, Allah mengatakan,
"Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang
penuh kenikmatan" (QS Al-Muthaffifin: 24).
Gambaran kesenangan hidup penduduk surga itu dapat dilihat dari wajah
mereka. Ini artinya dapat dikenali dari sesuatu yang bersifat fisik,
karena memang wajah mereka memang kelihatan. Jadi lafadz "al-ma'rifat"
itu digunakan untuk mengenali sesuatu yang benar-benar jelas. Oleh
karena itu ketika Allah Swt. menggunakan kalimat "ya'rifuunahu" ini
karena orang-orang ahli kitab tersebut benar-benar mengenal Rasulullah
Saw., sebagaimana melihat segala sesuatu yang nampak jelas secara
fisik. Pengenalan ahli kitab ini karena kenabian Rasulullah Saw. sudah
diterangkan dalam kitab suci mereka yaitu dalam Taurat dan Injil.
Subhanallah, Allah selalu menggunakan kalimat yang sesuai dengan
tujuannya. Penggunaan lafadz ini menunjukkan bahwa pengertian atau
pemahaman itu sangat jelas, dan tidak ada subhat sedikitpun. Kita
paham bahwa tidak ada orang yang samar pada anaknya, kecuali kalau
sudah pikun.
Pengenalan Ahli kitab kepada Rasulullah Saw. digambarkan Allah Swt.
dengan menggunakan ungkapan kamaa "ya'rifuuna abnaa-ahum" (sebagaimana
mereka mengenal anak laki-laki mereka). Di sini Allah menggunakan
lafadz "abnaa ahum" (anak laki-laki), bukan "banaatihim' (anak
perempuan). Kalau kita perhatikan di masyarakat, biasanya mereka lebih
mengenal dan lebih dekat dengan anak laki-lakinya jika dibandingkan
dengan anak perempuannya. Kebutuhan orangtua kepada anak laki-laki
biasanya lebih tinggi daripada anak perempuan.
Ahli kitab ini begitu mengenal Rasulullah Saw. Hal ini bisa dilihat
dari, pertama, karena Allah menggunakan lafadz al-ma'rifah yang
berarti mengenal sesuatu yang kelihatan fisiknya (sangat jelas).
Kedua, diumpamakan seperti orang yang mengenal anaknya sendiri dengan
penggunaan lafadz "ya'rifuuna abnaa-ahum" yang menunjukkan tidak
adanya keraguan sama sekali.
Ketiga, penggunaan lafadz "abnaa ahum bukan banaatihim".
Akan tetapi walaupun sudah sedemikian jelasnya pengetahuan dan
pengenalan ahli kitab kepada Rasulullah Saw., tetapi mereka tetap
mengingkari kenabian Rasulullah. Mengapa Ahli Kitab ini kafir atas
kenabian Muhammad Saw? Jawabannya adalah karena totalitas hidup mereka
yang dikendalikan oleh hawa nafsunya, bukan kepada Allah Swt. Hal ini
telah Allah tegaskan pada ayat sebelumnya yaitu ayat 145 yang telah
dibahas.
Ayat ini Allah tutup dengan mengatakan, "Wa inna fariiqan minhum
layaktumuunal haqqa wahum ya'lamuun (dan sesungguhnya sebagian di
antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui).
Sifat-sifat ahli kitab yang lain adalah tidak mau mengakui suatu
kebenaran. Namun ada hal yang harus kita perhatikan di sini. Dalam
lanjutan ayat ini, Allah menggunakan lafadz fariiqan minhum (sebagian
dari mereka), bukan kulluhum (seluruhnya). Mengapa Allah menggunakan
lafadz fariiqan minhum, karena realitas sejarah membuktikan bahwa di
antara ahli kitab pada waktu itu ada yang beriman kepada Rasulullah
Saw. Beberapa orang Yahudi dan Nasrani yang benar-benar mengikuti
kebenaran, ketika mereka mengetahui bahwa Muhammad Saw. adalah
Rasulullah, mereka menyatakan keimanannya kepada beliau. Dari Yahudi
umpamanya ada Abdullah bin Salam yang adalah seorang ulama Yahudi.
Dari Nasrani umpamanya ada Sidq Ahrufi.
Penggunaan lafadz fariiqon minhum (sebagian dari mereka), menunjukkan
keobyektifan Al-Qur'an. Sekalipun dulunya mereka adalah ahli kitab
yang selalu memusuhi umat Islam, tetapi ketika mereka beriman kepada
Allah dan RasulNya, mereka adalah saudara kita. Islam tidak mengenal
adanya balas dendam. Makanya Allah menggunakan lafadz fariiqon minhum.
Disini kita ditunjukkan kedalaman makna Al-Qur'an sampai dalam
pemilihan lafadznya.
Jadi, sebagian dari ahli kitab itu menyimpan kebenaran tentang
kenabian Rasulullah Saw. dengan menolak beriman walaupun mereka
mengetahuinya. Kekafiran Ahli Kitab ini menegaskan bahwa ilmu saja
tidak cukup. Ahli kitab itu lebih tahu tentang kebenaran kenabian
Muhammad Saw. daripada Quraisy maupun suku yang lainnya, tetapi tetap
saja mereka tidak beriman. Ilmu yang dimiliki Ahli Kitab tersebut
tidak bermanfaat walaupun sekedar untuk dirinya sendiri.
Oleh karena itu kita diajarkan untuk berdo'a kepada Allah dengan
memohon agar diberikan ilmu yang bermanfaat, karena ada ilmu yang
tidak bermanfaat seperti ilmunya ahli kitab ini tidak memberikan
manfaat apaun, bahkan malah menjadikannya kafir. Wallahu a'lam
bishshawab. (Syamsu Hilal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar