Kamis, 13 Juni 2019

Kartini Sosok Muslimah Panutan

K A R T I N I

  1. Mukadimah
     Bismillahirrahmanirrahiim.
     Tinta  sejarah  belum  lagi  kering menulis namanya, namun wanita-
  wanita negerinya sudah terbata-bata  membaca cita-citanya.  Kian hari
  emansipasi  kian  mirip  saja  dengan  liberalisasi  dan  feminisasi.
  Sementara Kartini sendiri sesungguhnya semakin meninggalkan semuanya,
  dan  ingin   kembali  kepada  fitrahnya.  Perjalanan  Kartini  adalah
  perjalanan panjang. Dan  dia  belum  sampai  pada  tujuannya. Kartini
  masih dalam proses.
     Jangan  salahkan  Kartini  kalau  dia tidak sepenuhnya dapat lepas
  dari kungkungan adatnya.  Jangan  salahkan  Kartini  kalau  dia tidak
  dapat  lepas  dari  pengaruh  pendidikan Baratnya. Kartini bukan anak
  keadaan, terbukti bahwa dia  sudah berusaha  untuk mendobraknya. Yang
  kita  salahkan  adalah  mereka  yang menyalahartikan kemauan Kartini.
  Kartini tidak dapat diartikan lain  kecuali  sesuai  dengan  apa yang
  tersirat dalam  kumpulan suratnya : "Door Duisternis Tot Licht", yang
  terlanjur diartikan  sebagai  "Habis  Gelap  Terbitlah  Terang".
     Prof. Haryati Soebadio  (cucu  tiri  Ibu  Kartini) -   mengartikan
  kalimat  "Door  Duisternis  Tot  Licht"  sebagai  "Dari  Gelap Menuju
  Cahaya"  yang  bahasa  Arabnya  adalah "Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur".
  Kata dalam bahasa Arab  tersebut,  tidak  lain,  merupakan  inti dari
  dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyyah
  atau kebodohan hidayah) ke  tempat  yang  terang  benderang (petunjuk
  atau  kebenaran).  Di  dalam  Al-Quran, surat Al-Baqarah : 257, ALLah
  menegaskan:

     ALLah  pemimpin  orang-orang  yang  beriman;  Dia  mengeluarkan
     mereka  dari  kegelapan  kepada  cahaya.  Dan orang-orang kafir
     pemimpinnya  adalah  syaitan,  yang  mengeluarkan  mereka  dari
     cahaya ke  kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka
     kekal didalamnya.

     Kartini berada  dalam proses  dari kegelapan  menuju cahaya. Namun
  cahaya itu  belum purna  menyinarinya secara terang benderang, karena
  terhalang oleh  tabir tradisi  dan usaha  westernisasi. Kartini telah
  kembali  kepada  Pemiliknya,  sebelum  ia  menuntaskan usahanya untuk
  mempelajari Islam dan mengamalkannya, seperti yang diidam-idamkannya:

     Moga-moga  kami  mendapat  rahmat,  dapat  bekerja membuat umat
     agama lain memandang agama Islam patut disukai.
                    [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

     Kartini yang dikungkung oleh adat dan  dituntun oleh  Barat, telah
  mencoba meretas  jalan menuju  benderang. Tapi anehnya tak seorangpun
  melanjutkan perjuangannya. Wanita-wanita kini mengurai kembali benang
  yang  telah   dipintal  Kartini.  Sungguhpun  mereka  merayakan  hari
  lahirnya,  namun  mereka  mengecilkan  arti  perjuangannya.  Gagasan-
  gagasan  cemerlang  Kartini  yang  dirumuskan  dalam kamar yang sepi,
  mereka peringati di atas panggung yang  bingar. Kecaman  Kartini yang
  teramat pedas  terhadap Barat,  mereka artikan  sebagai isyarat untuk
  mengikuti wanita-wanita Barat habis-habisan.
     Kartini  merupakan  salah  satu  contoh  figur  sejarah yang lelah
  menghadapi pertarungan ideologi. Jangan kecam Kartini.  Karena  walau
  bagaimana pun, beliau telah berusaha mendobrak adat,   mengelak  dari
  Barat, untuk mengubah keadaan.

     Manusia itu berusaha, Allah lah yang menentukan.
               [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900]

     Demikian kata-kata Kartini yang  mencerminkan suatu  sikapnya yang
  tawakkal.  Memang,  kita  manusia sebaiknya berorientasi kepada usaha
  dan bukan  berorientasi pada  hasil. Hal  ini perlu,  agar kita tidak
  kehilangan  cakrawala.  Agar  kita  tidak mengukur keberhasilan suatu
  perjuangan dengan batasan usia  kita  yang  singkat.  Pula  agar kita
  tidak  mudah  untuk  mengecam  kesalahan yang dibuat oleh orang-orang
  sebelum kita. Bukan mustahil, jika kita dihadapkan dalam kondisi yang
  sama, kita pun akan berbuat hal yang serupa.

     Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya
     dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai
     pertanggung jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.
                                  [Al-Quran, surat Al-Baqarah : 134]

  2. Siapakah Kartini?
     Kartini  lahir   dari  keluarga  ningrat  jawa.  Ayahnya,  R.M.A.A
  Sosroningrat, pada  mulanya adalah  seorang wedana  di Mayong. Ibunya
  bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji
  Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial
  waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan.
  Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi,  maka ayahnya menikah
  lagi dengan  Raden Ajeng  Woerjan (Moerjam),  keturunan langsung Raja
  Madura. Setelah  perkawinan itu,  maka ayah  Kartini diangkat menjadi
  bupati di  Jepara menggantikan  kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan :
  R.A.A. Tjitrowikromo.
     Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari
  kesemua  saudara  sekandung,  Kartini  adalah  anak perempuan tertua.
  Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario
  Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak  Kartini,
  Sosrokartono, adalah seorang jenius dalam bidang bahasa.  Dalam waktu
  singkat pendidikannya di Belanda, ia menguasai 26 bahasa:  17 bahasa-
  bahasa Timur dan 9 bahasa-bahasa Barat.
     Kartini sendiri  secara  formal  pendidikannya  hanya  sampai pada
  tingkat Sekolah Rendah. Tapi beliau dapat memberikan kritik dan saran
  yang jelas kepada kebijaksanaan pemerintah Hindia  Belanda pada waktu
  itu. Dengan  nota yang  berjudul:  " Berilah Pendidikan kepada bangsa
  Jawa",  Kartini  mengajukan  kritik  dan  saran  kepada  hampir semua
  Departemen  Pemerintah  Hindia  Belanda,  kecuali Departemen Angkatan
  Laut (Marine). Salah satu saran yang beliau ajukan  kepada Departemen
  Kesehatan adalah sebagai berikut:

          Para  dokter   hendaklah  juga   diberi  kesempatan  untuk
     melengkapi  pengetahuannya  di   Eropa.   Keuntungannya  sangat
     menyolok,   terutama    jika   diperlukan   penyelidikan   yang
     menghendaki hubungan  langsung dengan  masyarakat. Mereka dapat
     menyelidiki  secara  mendalam  khasiat obat-obatan pribumi yang
     sudah   sering   terbukti   mujarab.   Jikalau   seorang   awam
     menceritakan bahwa  darah cacing  atau belut dapat menyembuhkan
     mata yang bengkak, mungkin  ia akan  ditertawakan. Namun adalah
     suatu kenyataan  bahwa air kelapa dan pisang batu dapat dipakai
     sebagai obat. Soalnya, sebetulnya sangat sederhana  : penyakit-
     penyakit dalam negeri sebaiknya diobati dengan obat-obatan dari
     negeri itu sendiri.
          Telah seringkali terjadi  bahwa  orang-orang  sakit bangsa
     Eropa,  teristimewa   yang  menderita  penyakit  disentri  atau
     penyakit lain, yang  oleh  dokter-dokter  sudah  dinyatakan tak
     dapat disembuhkan,  masih dapat  ditolong oleh obat-obatan kita
     yang sederhana dan tidak  membahayakan.  Sebagai  contoh, belum
     lama  berselang,  seorang  gadis  pribumi  oleh  seorang dokter
     dinyatakan  menderita  penyakit  TBC  kerongkongan.  Dokter itu
     mengatakan  bahwa  ia  hanya  dapat  bertahan  2 pekan dan akan
     meninggal dalam keadaan yang  mengerikan.  Dalam  keadaan putus
     asa, ibunya  membawanya kembali  ke desanya  untuk diobati. Dan
     gadis itu sembuh, menjadi  sehat, tidak  merasa sakit  lagi dan
     dapat  bicara   kembali.  Apa  obatnya? Serangga-serangga kecil
     yang didapat di sawah, ditelan hidup-hidup  dengan pisang emas.
     Pengobatan yang  biadab? Apa  boleh buat. Bagaimanapun obat itu
     menolong, sedang obat dokter tidak.
          Dokter-dokter kita,  sebenarnya  dapat  mengumumkan kasus-
     kasus  seperti  itu,  tetapi  mereka tidak pernah melakukan hal
     demikian. Mungkin karena khawatir  akan ditertawakan  oleh para
     sarjana? Seorang  dokter bumiputera yang pengetahuannya setaraf
     dengan rekannya bangsa Eropa, jika yakin akan sesuatu, mestinya
     harus berani menyatakan dan mempertahankan keyakinannya.

  Dengan membaca  petikan nota Kartini yang ditujukan kapada pemerintah
  Hindia Belanda tersebut, kita dapat memperkirakan  daya nalar Kartini
  untuk ukuran jamannya.

  3. Kartini Mendobrak Adat

     Sesungguhnya adat  sopan-santun kami  orang Jawa amatlah rumit.
     Adikku harus merangkak bila  hendak  lalu  di  hadapanku. Kalau
     adikku duduk  di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun
     duduk di tanah, dengan  menundukkan  kepala,  sampai  aku tidak
     kelihatan lagi.  Adik-adikku tidak  boleh berkamu dan berengkau
     kepadaku. Mereka hanya boleh  menegur  aku  dalam  bahasa kromo
     inggil  (bahasa   Jawa  tingkat   tinggi).  Tiap  kalimat  yang
     diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah.

     Berdiri bulu kuduk bila  kita berada  dalam lingkungan keluarga
     bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih
     tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di
     dekatnya sajalah yang dapat mendengar.

     Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-
     pendek, gerakannya lambat  seperti  siput,  bila  berjalan agak
     cepat, dicaci orang, disebut "kuda liar".
                      [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]

     Peduli  apa   aku  dengan  segala  tata  cara  itu  ...  Segala
     peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja.
     Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia
     keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara
     kami  (Kartini,  Roekmini,  dan  Kardinah)  tidak ada tata cara
     lagi. Perasaan kami sendiri yang akan  menentukan sampai batas-
     batas mana cara liberal itu boleh dijalankan.
                      [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]

     Menurut Kartini,  setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk
  mendapat perlakuan sama. Kartini paham benar bahwa saat itu, terutama
  di Jawa, keningratan sesorang diukur dengan darah. Semakin biru darah
  seseorang maka akan semakin ningrat kedudukannya.  Kartini  menentang
  keningratan darah.

     Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran
     dan keningratan budi.  Tidak ada  yang  lebih  gila  dan  bodoh
     menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan
     asal  keturunannya.  Apakah berarti sudah beramal soleh,  orang
     yang bergelar Graaf  atau  Baron?  Tidak  dapat  mengerti  oleh
     pikiranku yang picik ini.
                      [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]

     Keningratan darah sekarang ini hanya tinggal sebagai barang  antik
  di  museum.  Sebagai gantinya sekarang muncul keningratan-keningratan
  baru:   keningratan  pangkat,  keningratan  jabatan  dan  semacamnya.
  Puncak dari segala keningratan itu adalah keningratan ekonomi.  Siapa
  yang paling banyak menyimpan harta, dialah yang paling ningrat. Semua
  dapat diatur olehnya.  Keputusan dan kebijaksanaan semua  orang  akan
  berjalan merunduk-runduk di hadapan keputusan dan kebijaksanaan orang
  tersebut.
     Anehnya lagi, mereka  yang  mengaku  sebagai  Kartini-Kartini Masa
  Kini, tidak  menentang keningratan-keningratan  baru tersebut. Bahkan
  sebagian besar mereka menjadi korbannya, kalau  tidak boleh dikatakan
  sebagai abdinya yang setia.

  4. Kartini Memandang Ke Barat

     Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik;  orang baik-
     baik  itu  meniru  perbuatan  orang yang lebih tinggi lagi, dan
     mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa.
                          [Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899]

     Diskriminasi yang dilakukan penjajah  Belanda terhadap bumiputera,
  telah menjatuhkan  moral mereka.  Kartini meskipun  berasal dari kaum
  ningrat, tapi pendidikan  Barat  yang  dikenyamnya  telah mengajarkan
  kepadanya  bahwa  Timur  itu  rendah  dan  Barat  itu mulia.  Kartini
  bukannya tidak menyadari  indoktrinasi   ini,  tapi   kenyataan  yang
  dilihatnya  belum   lagi  dapat   dibantah.  Dalam  dunia  pendidikan
  misalnya, Kartini  melihat perbedaan  yang menyolok,  antara apa yang
  dimiliki  oleh  Belanda  dengan  apa  yang  baru  dapat  dicapai oleh
  Bumiputera.

     Bolehlah, negeri Belanda  merasa  berbahagia,  memiliki tenaga-
     tenaga ahli,  yang amat bersungguh mencurahkan seluruh akal dan
     pikiran dalam bidang  pendidikan  dan  pengajaran remaja-remaja
     Belanda. Dalam  hal ini  anak-anak Belanda lebih beruntung dari
     pada  anak-anak Jawa, yang  telah  memilki  buku   selain  buku
     pelajaran sekolah.
                 [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902]

     Dari sini  nampak bahwa  Kartini menyadari pentingnya peranan buku
  dalam  mencerdaskan  kehidupan  anak   manusia.   Kalau   masa  kini,
  kebudayaan membaca terkalahkan oleh kebudayaan video, apakah jawabnya
  adalah Kartini masa kini  sudah lebih  maju dalam  hal mendidik anak-
  anak mereka?

     Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan
     menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih.
                         [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900]

  Agar setaraf dengan Barat, Kartini merasa  perlu untuk  mengejar ilmu
  ke Barat.  Barat adalah  kiblat Kartini  setelah melepaskan diri dari
  kungkungan adat.

     Pergilah ke Eropa. Itulah cita-citaku sampai nafasku yang
     terakhir.
                 Surat Kartini kepada Stella [12 Januari 1900]

  5. Sahabat-sahabat Dekat Kartini
     Adat pada  dewasa itu tidak memperkenankan seorang ningrat bergaul
  lekat dengan rakyat biasa. Ningrat harus bergaul dengan  ningrat. Hal
  seperti ini  sengaja dilestarikan oleh pemerintah kolonial, agar para
  ningrat  kehilangan    kepekaan   terhadap   problematika  rakyatnya,
  menghindari  keterpihakan   ningrat  kepada  rakyat  yang  tertindas;
  sekaligus pula memperbesar jarak agar antara ningrat dan rakyat tidak
  tergalang  suatu  kekuatan  untuk  melawan  penguasa.  Dalam  situasi
  demikian, dapat dipahami bila  pergaulan Kartini  hanya terbatas pada
  lingkungan keluarganya dan orang-orang Belanda saja. Pergaulan dengan
  orang-orang Belanda, tidaklah dilarang, karena orang Belanda dianggap
  lebih ningrat daripada orang Jawa.
     Kartini  adalah  seorang  wanita  yang mempunyai pemikiran jauh ke
  depan. Hal ini sudah diamati dan diketahui oleh teman-temannya bangsa
  Belanda.  Banyak orang Belanda di Hindia  Belanda  maupun  di  negeri
  Belanda  sendiri  ingin  menjalin persahabatan dengan Kartini,  namun
  pada umumnya sebenarnya mereka ini adalah "musuh-musuh dalam selimut"
  yang ingin memperalat Kartini dan memandulkan pikiran-pikirannya.
     Berikut  ini  adalah  beberapa  teman  dekat  Kartini, yang sering
  terlibat diskusi maupun korespondensi dengannya :

  - J.H. Abendanon
     Abendanon datang ke Hindia-Belanda pada tahun  1900. Ia ditugaskan
  oleh  Nederland  untuk  melaksanakan  Politik  Etis.  Tugasnya adalah
  sebagai Direktur Departemen Pendidikan,  Agama dan  Kerajinan. Karena
  'orang  baru'  di  Hindia-Belanda, Abendanon tidak mengetahui keadaan
  masyarakat Hindia-Belanda dan tidak paham bagaimana dan dari  mana ia
  memulai  programnya.  Untuk  keperluan  itu, Abendanon banyak meminta
  nasihat  dari  teman  sehaluan  politiknya, Snouck Hurgronye, seorang
  orientalis yang terkenal sebagai arsitek perancang kemenangan Hindia-
  Belanda dalam Perang Aceh.
     Lebih jauh,  Hurgronye  mempunyai  konsepsi  yang  disebut sebagai
  Politik  Asosiasi,   yaitu  suatu  usaha  agar  generasi  muda  Islam
  mengidentifikasikan  dirinya  dengan  Barat.   Menurut  keyakinannya,
  golongan yang paling keras menentang penjajah Belanda adalah golongan
  Islam, terutama golongan santrinya. Memasukkan peradaban  Barat dalam
  masyarakat pribumi  adalah cara yang paling jitu untuk membendung dan
  akhirnya mengatasi  pengaruh Islam  di Hindia  Belanda. Tidak mungkin
  membaratkan   rakyat   bumiputera,   kecuali  jika  ningratnya  telah
  dibaratkan. Untuk tujuan itu, maka langkah pertama yang harus diambil
  adalah mendekati kalangan ningrat terutama yang Islamnya teguh, untuk
  kemudian dibaratkan. Hurgronye menyarankan  Abendanon untuk mendekati
  Kartini,  dan  untuk tujuan  itulah  Abendanon  membina hubungan baik
  dengan  Kartini.  Kelak,  Abendanonlah  yang  paling  gigih  berusaha
  menghalangi  Kartini  belajar  ke  Nederland.  Ia tidak ingin Kartini
  lebih maju lagi.

  - E.E. Abendanon (Ny. Abendanon)
     Dia adalah pendamping setia  suaminya  dalam  menjalankan tugasnya
  mendekati  Kartini.  Sampai  menjelang  akhir hayatnya, Kartini masih
  membina hubungan korespondensi dengannya.

  - Dr. Adriani
     Keluarga Abendanon pernah mengundang keluarga Kartini  ke Batavia.
  Di Batavia  inilah,  Ny.  Abendanon memperkenalkan Kartini dengan Dr.
  Adriani.  Ia  seorang  ahli   bahasa  serta   pendeta  yang  bertugas
  menyebarkan kristen di Toraja, Sulawesi Selatan. Dr Adriani berada di
  Batavia dalam rangka perlawatannya keliling Jawa  dan Sumatera. Untuk
  selanjutnya,  Dr.  Adriani  menjadi  teman korespondensi Kartini yang
  intim.

  - Annie Glasser
     Ia adalah seorang  guru  yang  memiliki  beberapa  akta pengajaran
  bahasa. Ia  mengajarkan bahasa  Perancis secara privat kepada Kartini
  tanpa memungut bayaran. Glasser  diminta oleh  Abendanon ke Kabupaten
  Jepara untuk  mengamati dan mengikuti perkembangan pemikiran Kartini.
  Tidak mengherankan  jika  kelak  Abendanon  dapat  mematahkan rencana
  Kartini  untuk  berangkat  belajar ke Nederland, dengan mempergunakan
  diplomasi psikologis  tingkat tinggi.  Semua pihak  telah gagal dalam
  segala upaya  untuk menghalangi kepergian Kartini ke Belanda. Kartini
  telah berbulat tekad untuk  ke  Belanda.  Tapi,  tiba-tiba, Abendanon
  datang langsung  dari Batavia  ke Jepara  untuk menemui Kartini tanpa
  perantaraan surat.  Abendanon  hanya  berbicara  beberapa  menit saja
  dengan  Kartini.   Hasilnya?  Kartini  memutuskan  untuk  membatalkan
  keberangkatannya ke Belanda. Hal  ini  hanya  mungkin  jika Abandanon
  mengetahui  secara  persis  kondisi  psikologis  Kartini; dan hal ini
  mudah baginya karena  ia  menempatkan  Annie  Glasser  sebagai "mata-
  mata"nya.

  - Stella (Estelle Zeehandelaar)
     Sewaktu  dalam  pingitan  (lebih  kurang  4 tahun), Kartini banyak
  menghabiskan  waktunya  untuk  membaca.  Kartini  tidak   puas  hanya
  mengikuti perkembangan  pergerakan wanita  di Eropa  melalui buku dan
  majalah saja.  Beliau  ingin  mengetahui  keadaan  yang sesungguhnya.
  Untuk itulah,  beliau kemudian  memasang iklan di sebuah majalah yang
  terbit di Belanda : "Hollandsche Lelie".  Melalui iklan  itu, Kartini
  menawarkan  diri  sebagai  sahabat  pena  untuk  wanita Eropa. Dengan
  segera iklan  Kartini tersebut  disambut oleh  Stella, seorang wanita
  Yahudi Belanda.  Stella adalah  anggota militan pergerakan feminis di
  negeri  Belanda  saat itu. Ia bersahabat  dengan tokoh  sosialis; Ir.
  Van Kol,  wakil ketua  SDAQ (Partai Sosialis Belanda) di Tweede Kamer
  (Parlemen).

  - Ir. Van Kol
     Sebelum berkenalan  dengan  Kartini,  Van  Kol  pernah  tinggal di
  Hindia Belanda  selama 16  tahun. Selain sebagai seorang insinyur, ia
  juga seorang  ahli dalam  masalah-masalah  kolonial.  Stella-lah yang
  selalu  memberi  informasi  tentang  Kartini  kepadanya,  sampai pada
  akhirnya ia  berkesempatan datang  ke Jepara  dan berkenalan langsung
  dengan  Kartini.  Van  Kol  mendukung  dan  memperjuangkan  kepergian
  Kartini ke  negeri  Belanda  atas  biaya  Pemerintah  Belanda. Namun,
  rupanya  ada  udang  dibalik  batu. Van Kol berharap dapat menjadikan
  Kartini sebagai "saksi hidup" kebobrokan pemerintah  kolonial Hindia-
  Belanda.  Semua   ini  untuk  memenuhi  ambisinya  dalam  memenangkan
  partainya (sosialis) di Parlemen.

  - Nellie Van Kol (Ny. Van Kol)
     Ia adalah seorang penulis  yang  mempunyai  pendirian  humanis dan
  progresif.  Dialah  orang  yang  paling  berperan dalam mendangkalkan
  aqidah  Kartini.  Pada  walnya,  ia  bermaksud  untuk  mengkristenkan
  Kartini,  dengan  kedatangannya  seolah-olah  sebagai  penolong  yang
  mengangkat  Kartini  dari  ketidakpedulian  terhadap  agama.  Memang,
  agaknya  setelah  perkenalannya  dengan  Ny. Van Kol,  Kartini  mulai
  perduli  dengan  agamanya,  Islam.   Kepeduliannya  ditandai   dengan
  diakhiri gerakan "mogok shalat" dan "mogok ngaji".

     Sekarang kami merasakan badan kami lebih  kokoh, segala sesuatu
     tampak lain  sekarang. Sudah  lama cahaya itu tumbuh dalam hati
     sanubari kami; kami belum  tahu waktu  itu, dan  Nyonya Van Kol
     yang  menyibak  tabir  yang  tergantung  di  hadapan kami. Kami
     sangat berterima kasih kepadanya.
                 [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 12 Juni 1902]

     Setelah Kartini  kembali  menaruh  perhatian  pada masalah-masalah
  agama, mulailah Nellie Van Kol melancarkan missi kristennya.

     Nyonya Van  Kol banyak  menceritakan kepada  kami tentang Yesus
     yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul  Petrus dan Paulus,
     dan kami senang mendengar semua itu
                     [Surat Kartini kepada Dr. Adriani, 5 Juli 1902]

     Nyonya  van  Kol gagal untuk mengkristenkan Kartini secara formal,
  tapi ia berhasil untuk  memasukkan nilai  kristen ke  dalam keislaman
  Kartini. Dalam  banyak suratnya  Kartini menyebut  Allah dalam konsep
  trinitas.

     Malaikat yang baik beterbangan  di  sekeliling  saya  dan Bapak
     yang ada  di langit  membantu saya dalam perjuangan saya dengan
     bapakku yang ada di dunia ini.
                 [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 12 Juli 1902]

6. Kartini Ingin Menjadi Muslimah Sejati
     Pada  masa  kecilnya,  Kartini  mempunyai  pengalaman  yang  tidak
  menyenangkan  ketika  belajar  mengaji  (membaca Al-Quran).  Ibu guru
  mengajinya memarahi beliau ketika Kartini menanyakan makna dari kata-
  kata Al-Quran yang diajarkan kepadanya untuk membacanya.  Sejak  saat
  itu timbullah penolakan pada diri Kartini.

     "Mengenai  agamaku  Islam,  Stella, aku harus menceritakan apa?
     Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama
     lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam.
     Bagaimana  aku  dapat  mencintai   agamaku,  kalau   aku  tidak
     mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak
     boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun.  Di sini  tidak ada
     orang yang  mengerti bahasa  Arab. Di sini orang diajar membaca
     Al-Quran tetapi tidak  mengerti  apa  yang  dibacanya. Kupikir,
     pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar
     makna yang  dibacanya  itu.  Sama  saja  halnya  seperti engkau
     mengajarkan aku  buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi
     kata, tetapi  tidak  satu  patah  kata  pun  yang  kau jelaskan
     kepadaku apa  artinya. Tidak  jadi orang  sholeh pun tidak apa-
     apa,  asalkan  jadi  orang  yang  baik  hati,  bukankah  begitu
     Stella?"
                      [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

     "Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang  tidak
     tahu  apa  perlunya  dan  apa  manfaatnya.  Aku  tidak mau lagi
     membaca  Al-Quran,  belajar  menghafal  perumpamaan-perumpamaan
     dengan  bahasa  asing  yang  tidak  aku  mengerti artinya,  dan
     jangan-jangan   guru-guruku   pun   tidak   mengerti   artinya.
     Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa
     saja.  Aku berdosa,  kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga
     kami tidak boleh mengerti apa artinya.
              [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]

     Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke  rumah pamannya, seorang
  Bupati  di  Demak  (Pangeran  Ario  Hadiningrat).  Di Demak waktu itu
  sedang berlangsung pengajian bulanan  khusus untuk  anggota keluarga.
  Kartini ikut  mendengarkan pengajian  tersebut bersama para raden ayu
  yang lain, dari balik tabir. Kartini  tertarik pada  materi pengajian
  yang disampaikan  Kyai Haji  Mohammad Sholeh bin Umar,  seorang ulama
  besar dari Darat, Semarang,  yaitu  tentang  tafsir  Al-Fatihah. Kyai
  Sholeh Darat  ini - demikian ia dikenal - sering memberikan pengajian
  di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara.
     Setelah selesai acara  pengajian  Kartini  mendesak  pamannya agar
  bersedia menemani  dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Inilah dialog
  antara Kartini  dan  Kyai  Sholeh  Darat,  yang  ditulis  oleh Nyonya
  Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat :

     "Kyai,  perkenankanlah   saya  menanyakan,  bagaimana  hukumnya
     apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?"
     Tertegun  Kyai  Sholeh  Darat  mendengar  pertanyaan  Kartini yang
  diajukan secara diplomatis itu.
     "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?"
     Kyai Sholeh  Darat balik  bertanya, sambil berpikir kalau saja apa
  yang  dimaksud  oleh  pertanyaan   Kartini  pernah   terlintas  dalam
  pikirannya.
     "Kyai,  selama  hidupku  baru  kali  inilah aku sempat mengerti
     makna dan arti surat  pertama, dan  induk Al-Quran  yang isinya
     begitu  indah  menggetarkan  sanubariku. Maka bukan buatan rasa
     syukur hati  aku  kepada  Allah,  namun  aku  heran  tak habis-
     habisnya,  mengapa  selama  ini  para ulama kita melarang keras
     penerjemahan  dan   penafsiran  Al-Quran   dalam  bahasa  Jawa.
     Bukankah Al-Quran  itu justru  kitab pimpinan hidup bahagia dan
     sejahtera bagi manusia?"

     Setelah pertemuannya dengan Kartini,  Kyai Sholeh  Darat  tergugah
  untuk  menterjemahkan  Al-Quran  ke  dalam  bahasa  Jawa.  Pada  hari
  pernikahan  Kartini,   Kyai  Sholeh  Darat  menghadiahkan   kepadanya
  terjemahan  Al-Quran  (Faizhur  Rohman  Fit  Tafsiril  Quran),  jilid
  pertama yang terdiri dari 13 juz,  mulai dari surat Al-Fatihah sampai
  dengan surat Ibrahim.
     Mulailah  Kartini  mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya.
  Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia,
  sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya  ke
  dalam bahasa Jawa.  Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan
  ajaran Islam  (Al-Quran)  maka  tidak  mustahil  ia  akan  menerapkan
  semaksimal   mungkin   semua   hal   yang   dituntut  Islam  terhadap
  muslimahnya.  Terbukti Kartini sangat  berani  untuk  berbeda  dengan
  tradisi  adatnya  yang  sudah terlanjur mapan.  Kartini juga memiliki
  modal kehanifan yang tinggi  terhadap  ajaran  Islam.  Bukankah  pada
  mulanya beliau paling keras menentang poligami, tapi kemudian setelah
  mengenal Islam, beliau dapat menerimanya.
     Saat mempelajari Al-Islam lewat Al-Quran terjemahan berbahasa Jawa
  itu, Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa Allahlah
  yang telah membimbing orang-orang beriman dari  gelap  kepada  cahaya
  (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-
  kata  Minazh-Zhulumaati  ilan  Nuur  yang  berarti  dari gelap kepada
  cahaya.  Karena Kartini merasakan sendiri proses  perubahan  dirinya,
  dari pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah.
     Dalam  banyak   suratnya  sebelum  wafat,  Kartini  banyak  sekali
  mengulang-ulang kalimat "Dari  Gelap  Kepada  Cahaya"  ini.    Karena
  Kartini selalu  menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata
  ini dia terjemahkan dengan "Door Duisternis Tot Licht".
     Karena  seringnya  kata-kata  tersebut  muncul  dalam  surat-surat
  Kartini,  maka  Mr.  Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini-
  menjadikan  kata-kata  tersebut  sebagai  judul  dari  kumpulan surat
  Kartini.  Tentu  saja  ia  tidak  menyadari  bahwa kata-kata tersebut
  sebenarnya dipetik dari Al-Quran.
     Kemudian  untuk  masa-masa  selanjutnya setelah Kartini meninggal,
  kata-kata Door Duisternis Tot Licht telah kehilangan maknanya, karena
  diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah "Habis Gelap  Terbitlah
  Terang".  Memang lebih puitis, tapi justru tidak persis.

     Setelah  Kartini  mengenal  Islam  sikapnya  terhadap  Barat mulai
  berubah :

     "Sudah lewat masanya,  tadinya  kami  mengira  bahwa masyarakat
     Eropa  itu  benar-benar  satu-satunya  yang  paling baik, tiada
     taranya. Maafkan kami,  tetapi  apakah  ibu  sendiri menganggap
     masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di
     balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat  banyak hal-
     hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?"
               [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]

     Kartini  juga  menentang  semua  praktek  kristenisasi  di  Hindia
  Belanda :

     "Bagaimana pendapatmu  tentang Zending,  jika bermaksud berbuat
     baik  kepada  rakyat  Jawa  semata-mata atas dasar cinta kasih,
     bukan  dalam  rangka  kristenisasi?  ....  Bagi   orang  Islam,
     melepaskan   keyakinan   sendiri   untuk  memeluk  agama  lain,
     merupakan  dosa  yang  sebesar-besarnya.   Pendek  kata,  boleh
     melakukan   Zending,   tetapi   jangan   mengkristenkan  orang.
     Mungkinkah itu dilakukan?"
              [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]

     Bahkan Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan  surat Al-Baqarah
  ayat  193,  berupaya  untuk  memperbaiki citra Islam selalu dijadikan
  bulan-bulanan  dan  sasaran  fitnah.  Dengan  bahasa   halus  Kartini
  menyatakan :

     "Moga-moga  kami  mendapat  rahmat,  dapat bekerja membuat umat
     agama lain memandang agama Islam patut disukai."
                    [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

  7. Cita-cita Kartini Yang Sering Disalahartikan.
     Kartini merasa bahwa hati kecilnya selalu mengatakan :

     "Pergilah. Laksanakan  cita-citamu. Kerjalah  untuk hari depan.
     Kerjalah untuk  kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di
     bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham yang  palsu tentang
     mana  yang   baik  dan   mana  yang   buruk.  Pergi.  Pergilah.
     Berjuanglah   dan   menderitalah,    tetapi   bekerjalah  untuk
     kepentingan yang abadi"
                    [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

     Petikan suratnya  berikut ini adalah cita-cita Kartini yang banyak
  salah dimengerti :

     "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak
     perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak
     perempuan  itu  menjadi  saingan   laki-laki  dalam  perjuangan
     hidupnya. Tapi  karena kami  yakin akan  pengaruhnya yang besar
     sekali bagi kaum  wanita,  agar  wanita  lebih  cakap melakukan
     kewajibannya, kewajiban  yang diserahkan  alam sendiri ke dalam
     tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.
       [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]

     Inilah gagasan Kartini yang sebenarnya, namun kenyataannya  sering
  diartikan secara sempit dengan satu kata: emansipasi. Sehingga setiap
  orang bebas mengartikan semaunya sendiri.

  8. Pelajaran Bagi Umat Islam
     Pada dasarnya Kartini ingin berjuang  di jalan  Islam. Tapi karena
  pemahamannya  tentang  Islam  belum  menyeluruh,  maka  Kartini tidak
  mengetahui panjangnya jalan yang  akan  ditempuh  dan  bagaimana cara
  berjalan  diatasnya.  (Mudah-mudahan  Allah merahmati Kartini, beliau
  sudah berusaha, tapi Allah terlebih dahulu memanggilnya).
     Apabila kita mempelajari lebih  jauh  konsep-konsep  yang diajukan
  Kartini,  meskipun  secara  global  adalah  konsep Islam, tapi secara
  terperinci dan operasional, rancu  dengan  konsep-konsep  Barat. Kita
  tahu  sebagian  besar  teman-teman  dekat  Kartini  adalah Yahudi dan
  Nasrani. Allah sudah memperingatkan kepada kita  : Tidak  akan pernah
  ridho  orang-orang  Yahudi  dan  Nasrani, sebelum kamu mengikuti tata
  cara mereka (Al-Quran, 2:120).
     Apa yang dialami Kartini merupakan sejarah yang senantiasa  selalu
  terulangi.  Setiap  seseorang  akan memperjuangkan Islam,  maka tiba-
  tiba  pihak-pihak  yang  tidak  menyukai  Islam  akan  bersatu  untuk
  menghancurkannya.   Bila  posisi  mereka  lemah,   maka  mereka  akan
  menempuhnya dengan cara yang halus dan tersembunyi.  Tapi jika posisi
  mereka kuat, maka mereka akan menempuh cara-cara paksa.
     Secara tidak sadar  Kartini  menceritakan  praktek  keburukan umat
  Islam (bukan  Islam yang  buruk) kepada sahabat-sahabatnya non-Islam.
  Sehingga kelak kemudian hari  menjadi bumerang  dan fitnah  bagi umat
  Islam. Sebaik-baiknya  sahabat non-Islam,   walau  bagaimanapun tidak
  akan membantu Islam (Al-Quran, 3:119-120).
     Kartini  berjuang  seorang  diri  dan tidak menghimpun para santri
  lain yang ada di  pulau Jawa.  Salah seorang  sahabat RasuluLLah, Ali
  bin Abi Thalib RA pernah berpesan kepada kita bahwa:   Kebenaran yang
  tidak   terorganisir   dapat   dikalahkan    oleh   kebathilan   yang
  terorganisir.  Dan  Allah  pun mencintai orang-orang yang berjuang di
  jalanNya dalam suatu barisan (Al-Quran, 61:4).

  Wallahu'alam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar